WIRAUSAHA-Apa jadinya kalau setiap produk yang ada di Indonesia harus punya sertifikasi halal? Ide besar ini datang dari Haikal Hasan, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang dengan semangat menyatakan bahwa semua produk mesti memiliki label halal demi ketenangan hati umat Muslim. Sekilas, gagasan ini terdengar masuk akal. Toh, siapa yang tak ingin kepastian halal pada setiap makanan atau minuman yang dikonsumsi sehari-hari? Namun, seperti kata pepatah, “tidak ada makan siang gratis, ” ide besar ini membawa pertanyaan besar pula, siapa yang menanggung biayanya?
Bayangkan saja, ada ratusan ribu pelaku usaha di Indonesia yang, bila kebijakan ini diterapkan secara menyeluruh, harus merogoh kocek untuk sertifikasi halal. Di sini mulai timbul polemik yang menggelitik, bukankah sertifikasi ini sebaiknya gratis, mengingat BPJPH sudah mendapat sokongan dana dari pemerintah? Bila sertifikasi halal memang diniatkan untuk kebaikan bersama, kenapa pula bebannya harus ditanggung para pelaku usaha, yang mungkin saja sebagian besar masih terhuyung-huyung bangkit dari keterpurukan ekonomi? Bila gratis, tentu tidak ada masalah, tetapi biaya tambahan untuk sertifikasi akan menjadi beban tersendiri, apalagi bagi UMKM yang modalnya saja pas-pasan.
Baca juga:
MXGP Lombok Bawa Manfaat Untuk PKL NTB
|
Pertanyaan lain yang cukup menggoda adalah kenapa tidak membalik konsep sertifikasi ini? Jika 85% penduduk Indonesia beragama Islam dan secara umum mengonsumsi produk halal, bukankah lebih efektif dan efisien jika yang disertifikasi hanya produk haram? Dengan demikian, pelaku usaha yang memproduksi makanan non-halal tinggal menempuh sertifikasi “haram” saja. Bagi mayoritas konsumen yang Muslim, hal ini justru lebih praktis dan langsung memberikan informasi yang jelas tanpa perlu bertanya-tanya apakah suatu produk sudah terjamin halal atau belum.
Namun, kenyataannya, kebijakan tak semudah itu. Di balik keinginan untuk menjamin ketenangan hati umat, ada juga kompleksitas administratif, standar yang harus ditaati, dan regulasi yang perlu dijalankan. Tapi pada akhirnya, apakah gagasan besar ini tidak menambah beban bagi para pelaku usaha? Dengan berbagai pertimbangan dan dana yang sudah digelontorkan, haruskah BPJPH memikirkan cara yang lebih sederhana, adil, dan berimbang?
Sampai saat ini, kita hanya bisa berharap bahwa kebijakan ini, bila terealisasi, tidak akan menjadi kendala bagi dunia usaha, terutama bagi mereka yang sedang berjuang untuk bertahan.
Jakarta, 31 Oktober 2024
HIdayat Kampai